Makna dan Arti Logo DEPAG
LAMBANG DEPARTEMEN AGAMA
MAKNA ISI LAMBANG
- Bintang bersudut lima yang melambangkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila, bermakna bahwa karyawan Departemen Agama selalu menaati dan menjunjung tinggi norma-norma agama dalam melaksanakan tugas Pemerintahan dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
- 17 kuntum bunga kapas, 8 baris tulisan dalam Kitab Suci dan 45 butir padi bermakna Proklamasi Kemerdekaan republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, menunjukkan kebulatan tekad para Karyawan Departemen Agama untuk membela Kemerdekaan Negara Kesatuan republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
- Butiran Padi dan Kapas yang melingkar berbentuk bulatan bermakna bahwa Karyawan Departemen mengemban tugas untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur dan merata.
- Kitab Suci bermakna sebagai pedoman hidup dan kehidupan yang serasi antara kebahagiaan duniawi dan ukhrawi, materil dan spirituil dengan ridha Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa.
- Alas Kitab Suci bermakna bahwa pedoman hidup dan kehidupan harus ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya sesuai dengan potensi dinamis dari Kitab Suci.
- Kalimat “Ikhlas Beramal” bermakna bahwa Karyawan Departemen Agama dalam mengabdi kepada masyarakat dan Negara berlandaskan niat beribadah dengan tulus dan ikhlas.
- Perisai yang berbentuk segi lima sama sisi dimaksudkan bahwa kerukunan hidup antar umat beragama RI yang berdasarkan Pancasila dilindungi sepenuhnya sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945
- Kelengkapan makna lambang Departemen Agama melukiskan motto : Dengan Iman yang teguh dan hati yang suci serta menghayati dan mengamalkan Pancasila yang merupakan tuntutan dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, karyawan Departemen Agama bertekad bahwa mengabdi kepada Negara adalah ibadah.
Visi dan Misi
Kementerian Agama
VISI
"Terwujudnya
masyarakat Indonesia yang TAAT BERAGAMA, RUKUN, CERDAS, MANDIRI DAN SEJAHTERA LAHIR BATIN."
(Keputusan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 2010)
(Keputusan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 2010)
MISI
- Meningkatkan kualitas kehidupan beragama.
- Meningkatkan kualitas kerukunan umat beragama.
- Meningkatkan kualitas raudhatul athfal, madrasah, perguruan tinggi
agama, pendidikan agama, dan pendidikan keagamaan.
- Meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji.
- Mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang bersih dan berwibawa.
(Keputusan Menteri Agama Nomor 2 Tahun
2010)
Sejarah Kementerian
Agama
Bangsa Indonesia
adalah bangsa yang religius. Hal tersebut tercermin baik dalam kehidupan
bermasyarakat maupun dalam kehidupan bernegara. Di lingkungan
masyarakat-terlihat terus meningkat kesemarakan dan kekhidmatan kegiatan
keagamaan baik dalam bentuk ritual, maupun dalam bentuk sosial keagamaan.
Semangat keagamaan tersebut, tercermin pula dalam kehidupan bernegara yang
dapat dijumpai dalam dokumen-dokumen kenegaraan tentang falsafah negara
Pancasila, UUD 1945, GBHN, dan buku Repelita serta memberi jiwa
dan warna pada pidato-pidato kenegaraan.
Dalam pelaksanaan
pembangunan nasional semangat keagamaan tersebut menj adi lebih kuat dengan
ditetapkannya asas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa sebagai
salah satu asas pembangunan. Hal ini berarti bahwa segala usaha dan kegiatan
pembangunan nasional dijiwai, digerakkan dan dikendalikan oleh keimanan dan
ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai nilai luhur yang menjadi
landasan spiritual, moral dan etik pembangunan.
Secara historis
benang merah nafas keagamaan tersebut dapat ditelusuri sejak abad V Masehi,
dengan berdirinya kerajaan Kutai yang bercorak Hindu di Kalimantan melekat pada
kerajaan-kerajaan di pulau Jawa, antara lain kerajaan Tarumanegara di Jawa
Barat, dan kerajaan Purnawarman di Jawa Tengah.
Pada abad VIII corak agama Budha menjadi salah satu
ciri kerajaan Sriwijaya yang pengaruhnya cukup luas sampai ke Sri Lanka,
Thailand dan India. Pada masa Kerajaan Sriwijaya, candi Borobudur dibangun
sebagai lambang kejayaan agama Budha. Pemerintah kerajaan Sriwijaya juga
membangun sekolah tinggi agama Budha di Palembang yang menjadi pusat studi
agama Budha se-Asia Tenggara pada masa itu. Bahkan beberapa siswa dari Tiongkok
yang ingin memperdalam agama Budha lebih dahulu beberapa tahun membekali
pengetahuan awal di Palembang sebelum melanjutkannya ke India.
Menurut salah satu
sumber Islam mulai memasuki Indonesia sejak abad VII melalui para pedagang Arab yang telah
lama berhubungan dagang dengan kepulauan Indonesia tidak lama setelah Islam
berkembang di jazirah Arab. Agama Islam tersiar secara hampir merata di seluruh
kepulauan nusantara seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam seperti
Perlak dan Samudera Pasai di Aceh, kerajaan Demak, Pajang dan Mataram di Jawa
Tengah, kerajaan Cirebon dan Banten di Jawa Barat, kerajaan Goa di Sulawesi
Selatan, keraj aan Tidore dan Ternate di Maluku, keraj aan Banjar di
Kalimantan, dan lain-lain.
Dalam sejarah
perjuangan bangsa Indonesia menentang penjajahan Belanda banyak raja dan
kalangan bangsawan yang bangkit menentang penjajah. Mereka tercatat sebagai
pahlawan bangsa, seperti Sultan Iskandar Muda, Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar,
Cut Nyak Dien, Panglima Polim, Sultan Agung Mataram, Imam Bonjol, Pangeran
Diponegoro, Sultan Agung Tirtayasa, Sultan Hasanuddin, Sultan Goa, Sultan
Ternate, Pangeran Antasari, dan lain-lain.
Pola pemerintahan kerajaan-kerajaan tersebut diatas pada umumnya selalu memiliki dan melaksanakan fungsi sebagai berikut:
- Fungsi pemerintahan umum, hal ini tercermin pada gelar
"Sampean Dalem Hingkang Sinuhun" sebagai pelaksana fungsi
pemerintahan umum.
- Fungsi pemimpin keagamaan tercermin pada gelar "Sayidin
Panatagama Kalifatulah."
- Fungsi keamanan dan pertahanan, tercermin dalam gelar raja
"Senopati Hing Ngalogo." Pada masa penjajahan Belanda sejak abad XVI sampai pertengahan abad XX
pemerintahan Hindia Belanda juga "mengatur" pelayanan kehidupan
beragama. Tentu saja "pelayanan" keagamaan tersebut tak terlepas
dari kepentingan strategi kolonialisme Belanda. Dr.C. Snuck Hurgronye,
seorang penasehat pemerintah Hindia Belanda dalam bukunya "Nederland
en de Islam" (Brill, Leiden 1911) menyarankan sebagai berikut:
"Sesungguhnya menurut prinsip yang
tepat, campur tangan pemerintah dalam bidang agama adalah salah, namun jangan
dilupakan bahwa dalam sistem (tata negara) Islam terdapat sejumlah permasalahan
yang tidak dapat dipisahkan hubungannya dengan agama yang bagi suatu
pemerintahan yang baik, sama sekali tidak boleh lalai untuk mengaturnya. "
Pokok-pokok kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda di bidang agama adalah sebagai berikut:
Pokok-pokok kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda di bidang agama adalah sebagai berikut:
- Bagi golongan Nasrani dijamin hak hidup dan kedaulatan organisasi
agama dan gereja, tetapi harus ada izin bagi guru agama, pendeta dan
petugas misi/zending dalam melakukan pekerjaan di suatu daerah tertentu.
- Bagi penduduk pribumi yang tidak memeluk agama Nasrani, semua
urusan agama diserahkan pelaksanaan dan perigawasannya kepada para raja,
bupati dan kepala bumiputera lainnya.
Berdasarkan kebijaksanaan tersebut,
pelaksanaannya secara teknis dikoordinasikan oleh beberapa instansi di pusat
yaitu:
- Soal peribadatan umum, terutama bagi golongan Nasrani menjadi
wewenang Departement van Onderwijs en Eeredienst (Departemen Pengajaran
dan Ibadah).
- Soal pengangkatan pejabat agama penduduk pribumi, soal perkawinan,
kemasjidan, haji, dan lainlain, menjadi urusan Departement van
Binnenlandsch Bestuur (Departemen Dalam Negeri).
- Soal Mahkamah Islam Tinggi atau Hofd voor Islamietische Zaken
menjadi wewenang Departement van Justitie (Departemen Kehakiman). Pada
masa penjajahan Jepang kondisi tersebut pada dasarnya tidak berubah.
Pemerintah Jepang membentuk Shumubu, yaitu kantor agama pusat yang
berfungsi sama dengan Kantoor voor Islamietische Zaken dan mendirikan
Shumuka, kantor agama karesidenan, dengan menempatkan tokoh pergerakan
Islam sebagai pemimpin kantor. Penempatan tokoh pergerakan Islam tersebut
merupakan strategi Jepang untuk menarik simpati umat Islam agar mendukung cita-cita
persemakmuran Asia Raya di bawah pimpinan Dai Nippon.
Secara filosofis, sosio politis dan
historis agama bagi bangsa Indonesia sudah berurat dan berakar dalam kehidupan
bangsa. Itulah sebabnya para tokoh dan pemuka agama selalu tampil sebagai pelopor
pergerakan dan perjuangan kemerdekaan baik melalui partai politik maupun sarana
lainnya. Perjuangan gerakan kemerdekaan tersebut melalui jalan yang panjang
sejak jaman kolonial Belanda sampai kalahnya Jepang pada Perang Dunia ke II. Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan
pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada masa kemerdekaan kedudukan agama menjadi
lebih kokoh dengan ditetapkannya Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara
dan UUD 1945. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
yang diakui sebagai sumber dari sila-sila lainnya mencerminkan karakter bangsa
Indonesia yang sangat religius dan sekaligus memberi makna rohaniah terhadap
kemajuankemajuan yang akan dicapai. Berdirinya Departemen Agama pada 3 Januari
1946, sekitar lima bulan setelah proklamasi kemerdekaan kecuali berakar dari
sifat dasar dan karakteristik bangsa Indonesia tersebut di atas juga sekaligus
sebagai realisasi dan penjabaran ideologi Pancasila dan UUD 1945. Ketentuan juridis tentang agama
tertuang dalam UUD 1945 BAB E pasal 29
tentang Agama ayat 1, dan 2:
- Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa;
- Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.Dengan demikian agama telah menjadi bagian dari sistem kenegaraan
sebagai hasil konsensus nasional dan konvensi dalam_praktek kenegaraan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Sumber : http://www.kemenag.go.id/
No comments:
Post a Comment